Rabu, 27 Agustus 2008

HMI BACK TO BASIC: STRATEGI PERKADERAN HMI BERBASISKAN FUNDAMENTAL VALUE OF HMI

REALITAS sosial dan kebudayaan sekarang ini mempertontonkan lahirnya paket sosial dan kebudayaan yang serba instan akibat ekspansi globalisasi. Bahkan tak hanya itu, globalisasi masuk ke relung tubuh yang terdalam agama. Dan, agama mulai kehilangan perannya digantikan oleh media dan kebudayaan pop yang dikemas oleh kapital. Pun cara berpikir pragmatis ikut diekspor ke semua penjuru negara dunia ketiga.

Fenomena ini melahirkan corak keagamaan yang beragam. Parahnya, agama hanya dalam dataran pelarian dari permasalahan bukannya berperan menjawab tantangan zaman untuk melakukan perubahan sosial.

Nilai-nilai kebudayaan Barat yang cenderung hegemonik itu telah menjadi mainstream dan pembentukan sub-sub kebudayaan baru, yang justru membuat semakin kabur semangat identitas kebudayaan di dalam masyarakat Islam (Indonesia). Globalisasi, yang cenderung individualistik dalam kehidupan, telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai praktek kehidupan.

Lantas, bagaimana kita harus bersikap dengan kondisi seperti ini demi mengidentifikasi kebobrokan kondisi masyarakat yang sudah diracuni kapitalisme, dalam kaitannya dengan merancang semangat perubahan sebagaimana tujuan HMI. Pemikiran-pemikiran terkait dengan perubahan yang telah ada, tampaknya sudah banyak yang tidak memadai untuk melihat bagaimana kebudayaan dan identitas terbentuk dalam globalisasi ini. Karena serbuan globalisasi dari luar ternyata tak hanya meruntuhan kultur lokal, tapi juga ikut mempengaruhi bagaimana sikap kita vis a vis dengan globalisasi. Di titik ini terjadi polarisasi; mulai yang sangat akomodatif hingga yang membangun front perlawanan (fortifikasi).

BEBERAPA KECENDERUNGAN BARU MAHASISWA

Kini para mahasiswa telah demikian menyenangi program MTV ketimbang ketoprak, lebih doyan makan KFC dan Mc Donald, daripada makan SGPC (sego pecel), merasa lebih gaul jika bergaya layaknya fashion show, menenteng handphone dengan model terbaru, dan menghabiskan malam dengan nongkrong di kafe atau shoping di mall.

Fakta ini bisa ditafsirkan sebagai wujud sebuah generasi yang telah menjauhi nilai-nilai kultural dan etik tradisional yang luhur dari bangsa Indonesia. Katanya para kritikus kebudayaan, dalam kajian culture studies, penyebab pergeseran kebudayaan ini adalah akibat dari “globalisasi” sebagai sebuah gerakan budaya, yang telah meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dan kepercayaan tradisional.

Generasi muda yang kehidupan sosialnya telah dibesarkan oleh radio, TV, dan ikon-ikon dari budaya massa. Para pengusaha yang hanya berfikir bagaimana meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya—dan melupakan pertimbangan kajian kebudayaan yang mendalam—akan berpikir praktis bagaimana menciptakan “tempat” pertemuan dan penyaluran life style kalangan muda (youth marketing). Tempat hiburan, makan-minum, toko pakaian, café, tempat kumpul-kumpul dengan penampilan menarik adalah pilihan yang paling menjanjikan. Mahasiswa dan kaum muda lainnya memang kian tumbuh menjadi pasar yang menggiurkan.

Jika anda berkunjung sesekali kebeberapa mall, para mahasiswa dan pelajarlah yang dominan datang ke mall. Sebagian besar dari mereka menggunakan busana yang modis : celana jeans atau celana yang potongannya nempel di pinggul, dibalut kaus ketat (baby shirt) yang sedikit menampakkan pusarnya, serta sepatu/sandal gaul. Sangat jelas bahwa anak muda ini adalah “target pasar” pasar utama.

Inilah proyek besar “komodifikasi” gaya hidup, atau menjadikan gaya hidup sebagai “komoditas” yang diperdagangkan, yang jelas-jelas korbannya adalah para mahasiswa. Meskipun seringkali mereka tidak menyadarinya. Proyek komodikasi gaya hidup kaum muda adalah strategi kebudayaan yang paling ampuh untuk menghancurkan kepribadian manusia-manusia muda ini yang masih dalam proses pembentukan dan pencarian identitas, baik menyangkut masalah nilai, identitas diri, harapan maupun masa depannya.

Jika sebelumnya kita telah sedikit mengutarakan bagaimana perubahan budaya yang terjadi di kalangan mahasiswa masa kini. Dan kita akan mengatakan tidaklah tepat bagi HMI di zaman ini untuk merebut kembali posisi menjadikan “masjid kampus” sebagai basis gerakan. Bukan karena masjid kampus itu tempat yang tidak mulia lagi—selain disebabkan kompetitor yang lebih banyak (HTI, Salafi, ataupun KAMMI)—tapi karena kecenderungan baru dalam kebudayaan mahasiswa. Apa pasal ?

Sekarang ini yang dijadikan masjid bagi mahasiswa adalah mall, café, dan tempat nongkrong lainnya. Sehingga, HMI merasa jauh lebih baik jika mengambil tanggungjawab dakwah kepada mahasiswa yang telah terkena imbas budaya global ini. Memilih target generasi “muslim tanpa masjid” tak berarti meninggalkan masjid, justru ingin mengembalikan kegandrungan mahasiswa kepada kemendasaran masjid sebagai sentral gerakan di dalam dunia Islam.

Tidak ada komentar: